top of page

Inilah Kenapa Laki-laki Kerap Kali Tidak Mengenali Perasaannya

Writer's picture: Jordyano Marcho Hong DiyantoJordyano Marcho Hong Diyanto

male depression

Mungkin kamu pernah berpikir "Mengapa ya sangat sulit untuk seorang laki-laki mengekspreksikan perasaannya?" Hal ini bahkan kerap kali menjadi sumber permasalahan dalam suatu hubungan berpacaran ataupun pernikahan. Mungkin kamu berpikir bahwa hal ini terjadi karena memang laki-laki tercipta demikian. Mungkin kamu juga sering mendengar perkataan di sosial media, ataupun kalimat yang sering muncul dalam percakapan sehari-hari bahwa laki-laki cenderung lebih rasional sedangkan perempuan cenderung lebih emosional. Pertanyaannya, apakah benar demikian?


Laki-laki dan Perempuan Terlahir dengan Spektrum Emosi yang Sama

Sebenarnya laki-laki dan perempuan mempunyai rentang emosi yang sama loh. Keduanya sama-sama dapat menjadi pribadi yang sensitif dan peka terhadap perasaan yang dialaminya. Nah namun kenapa ya banyak laki-laki yang kesulitan mengungkapkan dan menjelaskan perasaannya dibandingkan perempuan? Hal ini nampaknya berkaitan erat dengan pandangan lingkungan sosial terhadap jenis kelamin laki-laki serta konsep maskulinitas.


Banyak laki-laki yang kerap kali tumbuh dalam lingkungan yang mempunyai persepsi bahwa seorang laki-laki tidak seharusnya emosional. Seorang laki-laki harusnya dapat menjadi pemimpin yang baik, bersikap tenang, dan membuat keputusan dengan logis. Ada juga pandangan bahwa laki-laki yang menangis merupakan pribadi yang cengeng dan lemah. Inilah stereotip yang ada di masyarakat mengenai laki-laki. Tentu saja hal ini tidaklah benar. Kepekaan terhadap emosi dan keterampilan dalam mengekspresikannya bukanlah suatu bukti kelemahan, sebaliknya ini merupakan tanda kesadaran diri serta regulasi emosi yang baik.


Lingkungan Masa Kecil Anak

Ternyata, lingkungan tempat seorang anak laki-laki bertumbuh punya peranan yang signifikan dalam melatih keterampilannya mengekspresikan emosi. Seringkali budaya, stereotip, dan kepercayaan mengenai peran seorang laki-laki memengaruhi bagaimana orang tua membesarkan anaknya. Tentunya hal ini juga berlaku untuk anak perempuan ya. Orang tua akan cenderung mendidik dan membesarkan anaknya, baik laki-laki ataupun perempuan sesuai dengan nilai sosial yang ada. Inilah mengapa banyak anak perempuan yang dibesarkan dan diajarkan untuk merawat diri, lebih leluasa untuk mengekspresikan emosi, serta dituntut untuk berperilaku lemah lembut. Sebaliknya, anak laki-laki kerap kali lebih menerima toleransi apabila mereka menunjukkan perilaku agresi tertentu, lebih berantakan, dan dituntut untuk tampil berani dan tidak cengeng. Dengan kata lain, laki-laki kerap kali diajarkan untuk “menyembunyikan” perasaannya, sedangkan mengekspresikan emosi merupakan bagian dari perilaku lemah lembut di anak perempuan.


Perbedaan pengasuhan dan didikan antara anak perempuan dan laki-laki inilah yang menjadi salah satu alasan laki-laki kerap kali tidak diajarkan untuk memproses emosinya. Laki-laki juga mempunyai kosa kata yang lebih terbatas dalam menggambarkan emosinya. Banyak laki-laki yang justru mencoba memproses emosinya dengan menggunakan logika. Inilah mengapa mereka lebih sering memberikan saran dan solusi baik kepada lawan jenis maupun sesamanya. Sedangkan perempuan lebih sering memberikan dukungan emosional.


Konsekuensi dari Menghindari Emosi

Tumbuh tanpa membiasakan diri untuk mengekspresikan emosinya dengan baik pada akhirnya membuat banyak laki-laki menghindari emosi tertentu dan tidak memproses apa yang mereka rasakan. Padahal tentunya sebagai manusia, memproses emosi dan perasaan merupakan salah satu keterampilan yang penting untuk dimiliki. Keterampilan ini dikenal dengan istilah regulasi emosi. Regulasi emosi ini menjadi keterampilan yang punya peranan penting untuk menghindarkan individu dari berbagai permasalahan psikologis. Regulasi emosi juga membantu individu untuk meningkatkan kesejahteraan diri, kemampuan pemecahan masalah, dan juga resiliensi. Tentunya apabila individu tidak mempunyai keterampilan regulasi emosi yang baik, mereka akan lebih rentan untuk mengembangkan permasalahan psikologis seperti depresi, gangguan kecemasan, dan berbagai permasalahan lainnya.


Laki-laki dan Kesehatan Mental

Ternyata permasalahan dalam mengekspresikan emosi ini bisa berkembang menjadi permasalahan psikologis dan salah satu bentuknya adalah covert male depression. Ini adalah suatu bentuk depresi yang kerap kali ditemukan di laki-laki namun individu tersebut tampak bersikap seperti biasa, mampu menjalankan fungsi kesehariannya, namun sesungguhnya merasakan emotional numbness, merasa bosan, bersikap sinis, memiliki spektrum emosi yang lebih terbatas, serta apatis. Sayangnya hal-hal ini seringkali dipandang sebagai perilaku umum pada laki-laki. Inilah mengapa istilah “covert” digunakan. Gangguan ini menandakan permasalahan pada lapisan yang lebih dalam dan tidak terlihat, namun individu tersebut bisa saja merasa ada yang salah dalam dirinya. Ada juga kasus-kasus ketika laki-laki akhirnya pergi ke psikolog dan baru menyadari bahwa sesungguhnya dia menunjukkan tanda-tanda depresi.


Tentunya ini hanya salah satu bentuk permasalahan yang bisa muncul ya. Pada dasarnya ada berbagai penelitian yang menunjukkan bahwa laki-laki lebih rentan untuk terkena masalah psikologis tertentu. Beberapa penelitian juga menemukan bahwa laki-laki mempunyai skor yang lebih tinggi dalam hal bunuh diri yang berakhir pada kematian. Laki-laki juga cenderung lebih enggan mencari bantuan tenaga kesehatan mental profesional sehingga resiko yang mereka hadapi cenderung lebih tinggi.


Pesan untuk Para Laki-laki Di Luar Sana

Untuk para laki-laki di luar sana yang menemukan tulisan ini entah dalam bentuk blogpost, postingan di media sosial, atau mendengar dari teman: Ingatlah bahwa emosi merupakan bagian yang penting dalam diri setiap manusia. Mungkin sebagai seorang laki-laki, kita mengalami kesulitan untuk memproses hal ini, namun mengabaikan emosi bukanlah suatu kebiasaan yang sehat. Mungkin tulisan ini menjadi langkah pertama yang bisa membantumu untuk mengerti sisi emosional dalam dirimu. Sisi yang selama ini kamu bungkam secara tidak sadar. Sisi yang mungkin kamu abaikan. Pada akhirnya kita tidak harus selalu bergantung kepada logika dan rasional, karena apabila kita hanya bergantung pada hal tersebut, maka kita akan kehilangan kesempatan untuk melihat lapisan lain dalam kehidupan ini. Lapisan yang mungkin mengandung baik dan buruk namun juga tentunya memperkaya kehidupan dan relasi yang kita miliki dengan orang lain.


Referensi:

Bly, R. (1990). Iron John: A book about men. New York, NY: Hachette. Chicago


Brackett, M. (2019). Permission to Feel: Unlocking the power of emotions to help our kids, ourselves, and our society thrive. Celadon Books.


Brody, L. R., & Hall, J. A. (2008). Gender and emotion in context. In M. Lewis, J. M. Haviland-Jones, & L. F. Barrett (Eds.), Handbook of emotions (3rd ed.). The Guilford Press.


Levant, R. F., & Wong, Y. J. (2013). The psychology of men and masculinities. American Psychological Association. https://doi.org/10.1037/13954-000


Mahalik, J. R., Burns, S. M., & Syzdek, M. (2007). Masculinity and perceived normative health behaviors as predictors of men's health behaviors. Social Science & Medicine, 64(11), 2201-2209. https://doi.org/10.1016/j.socscimed.2007.02.035


Real, T. (1998). I Don't Want to Talk About It: Overcoming the secret legacy of male depression. Simon and Schuster.


Wong, Y. J., Ho, M. R., Wang, S. Y., & Miller, I. S. K. (2017). Meta-analyses of the relationship between conformity to masculine norms and mental health-related outcomes. Journal of Counseling Psychology, 64(1), 80-93. https://doi.org/10.1037/cou0000176

Recent Posts

See All
bottom of page